Rabu, 23 November 2016

Mengenal Kamera Action GoPro


Melihat sekilas, kamera ini kamera main-main. Mungkin ada yang menganggap kamera dari Mekkah, khas oleh-oleh yang baru datang dari tanah suci. Tapi sebenarnya, kamera ini tangguh. Asal, bersama aksesorisnya. Jika hanya bodi saja, daya gunanya tak maksimal. Itulah kamera GoPro. Tentang kamera ini ada banyak review-nya di internet, khususnya yang berbahasa Inggris.
Apa sih GoPro itu??? 

Tak pernah berpikir ada kamera jenis ini. Nanti pernah ada tamu yang datang ke rumah mengenalkan kamera aksi ‘action camera’, wawasan itu baru ada. Untuk berpikir menjadi salah satu alat kerja tak terlalu utama. Belakang, setelah ada banyak publikasi mengenai kamera aksi di Youtube, harapan itu mulai ada. Khususnya tentang kamera GoPro Hero 3, yang publikasinya di dunia maya cukup masif. Menggoda untuk memilikinya.

Butuh waktu hampir dua tahun hingga akhirnya bisa memiliki jenis kamera ini, sebagai salah satu kelengkapan alat kerja di lapangan. Ya, memang saya sudah memiliki Nikon D300s beserta housing-nya serta Nikon Coolpix AW-100 yang walau tanpa housing bisa dibawa menyelam di kedalaman 10 meter ke bawah serta ada fasilitas GPS. Tapi, ada beberapa ‘kelemahan’ dua kamera tersebut dibanding kamera aksi GoPro. Demikian juga sebaliknya. Apa itu?

Kamera ukurannya kecil, seukuran wadah korek api GoGo, tapi GoPro lebih tebal setengah senti. Lebih tampak sebagai mainan daripada kamera serius untuk profesional. Kedua, tak ada lubang intip (view finder) atau LCD untuk melihat bagaimana posisi obyek (kecuali membeli khusus LCD yang bisa dipasang di belakang bodi yang harganya hampir 1 juta). Itu jadi masalah besar bagi yang tak terbiasa; masalah besar sebab kita tak tahu komposisi obyek.
Apa sih GoPro itu??? 

Fitur-fitur yang sangat sederhana. Bila di kamera digital lain tombol-tombol fitur minimal lima, maka di GoPro hanya tiga. Tombol power yang juga jadi mode, tombol shutter juga untuk enter, dan satu tombol wifi. Kombinasi dua tombol awal adalah pemilihan menu. Untuk isinya tak banyak, jadi bisa mudah memahaminya tapi gampang lupa. Sedikitnya tombol menjadikan kamera ini 99% auto (1% itu hanya pilihan pada Spot Meter alias Yes atau Not). Tak ada pengaturan kecepatan, tak ada pengaturan bukaan, tak ada pengaturan ISO, dan pengaturan-pengaturan lain seperti yang ada di kamera digital pada umumnya.
Kekurangan di atas memberi kesimpulan bahwa sepertinya kamera GoPro kamera jadul. Satu-satunya LCD yang ada di situ masih monokrom, seperti kalkulator, dan tak ada lampu flash. Betul-betul ketinggalan jaman. Begitu kira-kira.
Tapi ternyata, kekurangan di atas memang disengaja. Dugaan saya, selain memang ada yang tidak terlalu penting, juga untuk menghemat baterei. Dengan kata lain, kamera ini betul-betul hanya mengandalkan dua bagian utama pada kamera, yaitu lensa dan sensor. Kan memang itu yang penting ada pada kamera. Jika itu tak ada, kamera tak bisa apa-apa. Kalau yang lain sih masih bisa tidak ada.

Nah, lalu apa kelebihan kamera ini. Pertama adalah kualitas gambar, khususnya GoPro Hero 3 seri Black. Bagi yang gemar mendokumentasikan aksi-aksi di lingkungan ekstrem atau aktivitas berbahaya dengan kualitas sangat bagus, kamera ini bisa diandalkan. Malah bisa dikatakan, kualitasnya mungkin terlalu berlebihan, alias mubasir juga sebab akan sangat jarang digunakan. Nanti saya jelaskan mengapa akan jarang digunakan.

Saya akan membandingkan kualitas video GoPro Hero 3 Black dengan dua kamera yang saya punyai (di atas sudah saya sebut) dan kamera merk lain yang saya tahu kualitas videonya, seperti Canon 7D.
GoPro Hero 3 Black resolusi videonya bisa sampai 4 K atau 4 K Cin atau kalau dalam resolusi layar sampai 4096 x 2160. Bandingkan dengan Nikon D300s yang hanya 1080 x 720 atau Coolpix AW-100 yang beresoulsi 1920 x 1080 alias sudah full HD, tapi pada GoPro telah ultra HD.

Frame per detiknya juga belum pernah saya temukan di kamera digital biasa, yang berkisar 12.5, 24, 25, 48, 50, 60 sampai 100. Apa artinya, bagi yang gemar membuat atau menghasilkan adegan lambat (slow motion), fps yang tinggi amat memanjakan. Singkat kata, ada sekitar sembilan kombinasi antara resolusi dengan fps-nya, tergantung film mau dipake apa nantinya.

Saya katakan demikian, ini juga sekaligus menjelaskan maksud mubasir di atas, sebab kalau menggunakan resolusi maksimalnya, yaitu kelas cinema (sinema alias setingkat dengan kualitas film bioskop) maka, pertama, kartu memori akan cepat penuh. Jika menggunakan kualitas itu, minimal menggunakan kartu microSD kapasitas 32 atau 64 GB yang berkelas 10 (kecepatan tulis paling cepat). Kalau kartu 2 GB saja, itu bisanya 3 menit video kualitas bagus.

Kedua, ketika file sudah ada di komputer, bila file-nya langsung masuk perangkat editing, akan sangat berat dan (dalam bahasa Mandar) akan “tekke-tekke”. Itu sempat saya alami padahal saya sudah menggunakan MacBook Pro 17” prosesor Core i7 dengan RAM 8 (diolah di Final Cut 10).

Untuk kualitas foto, biasa-biasa saja. MB-nya sampai 12 saja (seri Silver dan White masing-masing 11 dan 5 MB). Tapi yang membuat decak kagum adalah burst-nya, bisa sampai 30 foto dalam 1 detik! Kalau Nikon D300s, paling banter 8 sampai 9 foto dalam 1 detik. Bedanya, sesaat setelah mengutip burst, butuh kamera butuh waktu beberapa detik menuliskan file foto ke kartu memori. Alias leg-nya cukup lama dibanding kamera DSLR.

Lalu bagaimana dengan kualitas warnanya? Kualitas warna, baik foto maupun film juga biasa-biasa. Tapi khusus kualitas warna video, biasa di sini kira-kira sama maknanya penampakan warna RAW pada foto DSLR. Maksudnya, warnanya memang tampak biasa-biasa, tapi sebenarnya file tersebut memberi keleluasaan untuk memperbaiki warnanya. Sebabnya apa? Sebab file video yang dihasilkan bisa dianggap file RAW. Itu sebabnya, walau sensor GoPro kecil (dibanding DSLR), tapi pengolahan filenya tidak sama.

Untuk mengatur ulang warna dan kompresi file, sebelum masuk ‘meja’ editing akhir, file dianjurkan melalui dulu program GoPro CineForm yang bisa didownload gratis dari web gopro.com. Faktor lain, jika sudah dikonversi di CineForm, file tidak akan berat lagi diolah, tapi kualitasnya tetatp terjaga (kompresinya khusus, tidak seperti kompresi lainnya, yang menurunkan kualitas gambar).

Kelebihan lainnya, bila ingin mencoba atau yang gemar membuat film tiga dimensi, menggunakan GoPro relatif mudah dan murah dibanding bila membeli kamera 3D betulan. Dengan menggunakan dua bodi kamera GoPro dalam satu wadah khusus dan setelah melalui penyatuan file dari kamera kanan dan kiri di GoPro CineForm, film tiga dimensi sudah bisa dihasilkan. Pun sudah bisa dipakai menyelam (anti air). Dianjurkan untuk menggunakan kacamata tiga dimensi untuk melihat hasilnya walau itu hanya di monitor komputer (bukan monitor khusus).

Berikutnya adalah aksesoris yang bisa disiapkan khusus untuk GoPro. Bila dibandingkan dengan jenis kamera lain, aksesoris GoPro cukup lengkap dan relatif murah. Misalnya harga housing yang bisa membawa kamera sampai ke kedalaman 60 meter, yang harganya tidak sampai 1 juta (housing-nya malah sudah ada saat beli kamera ini). Bandingkan dengan housing poket sejenis Canon PowerShot yang harganya di atas dua juta.

Sebab ukuran kameranya kecil, GoPro bisa dipasang di mana-mana (asal menggunakan aksesorisnya), seperti di kepala, di atas atau samping helem, di dekat ban motor/sepeda, di atas kap mobil, di haluan atau burita papan surfing, di dada, dan di lokasi-lokasi ekstrim lainnya. Yang bila kamera DSLR di situ, si pemilik akan berpikir dua kali (sebab berat, berpotensi jatuh, dan butuh alat aksesoris yang cukup mahal).

Lensa GoPro Hero 3 sudah pakem, yaitu lensa wide. Hasilnya ultra wide, tapi belum sampai seperti distorsi lensa mata ikan. Beberapa video di internet (Youtube) memperlihatkan GoPro yang diganti lensanya. Tapi itu butuh lensa dan keahlian khusus. Yang jelas, lensa bawaannya yang wide dengan F sampai 2.8 sudah lumayan, yaitu memperluas daerah tangkapan (jadi tak perlu terlalu khawati obyek tak masuk dalam frame).

Kamera GoPro Hero 3 sudah built in wifi. Artinya, bisa dikendalikan dari jauh untuk menekan shutter. Remote wifi sudah bawaan sejak membeli. Bagi yang punya iPhone atau Samsung Galaxy yang bisa install aplikasi GoPro, bisa menjadikan monitor hp atau tabletnya sebagai LCD darurat. Dikatakan darurat, sebab dari layar bisa dilihat penampakan apa yang dicakup lensa (frame), hanya saja tampilannya kecil (bila mau full screen, tap area monitor yang memperlihatkan cakupan lensa) dan tidak realtime. Ada leg beberapa detik antara apa yang dilihat oleh kamera dengan apa yang tampak di LCD kamera. Jadi, tidak sebaik dengan LCD yang telah menempel di kamera digital pada umumnya. Ini saya alami saat saya menggunakan iPhone 4 dalam mengendalikan GoPro Hero 3.Apa sih GoPro itu??? 

Jadi apa kesimpulannya atas kamera GoPro? Bagi pengguna awam, yang hasil video untuk diaplod di Youtube saja, komputer yang digunakan lelet, dan ingin langsung melihat hasil jepretan, tak dianjurkan untuk menjadikan kamera ini sebagai kamera utama. Anda akan stress memilikinya. Kamera ini dibuat (khusus) bagi orang yang biasa ke lingkungan ekstrem untuk mendokumentasi. Baik aksi diri sendiri maupun orang lain. Misalnya pe-motor cross, penyelam atau yang biasa snorkling, pe-sepeda atau pe-motor yang suka touring, pembuat film atau iklan, jurnalis (yang biasa investigasi), dan para aktivis pecinta alam.

Dilihat dari harga, GoPro Hero 3 (yang termahal) relatif murah. Tidak sampai 5 juta, yang sama harganya dengan DSLR paling murah (di Nikon dan Canon). Selain bodi, juga sudah mendapat ‘kesing’ (housing) anti air dan beberapa alat. Tapi belum termasuk aksesoris seperti kartu memori, alat untuk menempelkan ke kap mobil, ke sepeda, LCD, baterei tambahan, dan lain-lain. Yang jelas, kalau mau mengoleksi semua aksesoris GoPro, kira-kira butuh dana 5 juta lagi. Artinya, kelebihan kamera yang paripurna bisa dimiliki jika mengeluarkan bajet minimal 10 juta. Ya lumayan, tapi masih lebih murah dibanding DSLR semi-profesional yang hanya bodi saja.

0 komentar:

Posting Komentar